Hubungan antara Agama dan Sains (Ilmu Pengetahuan)
Manusia
sepanjang hidupnya tidak pernah lepas dari pertanyaan-pertanyaan mengenai apa
yang terjadi dengan diri manusia itu sendiri, lingkungan sekitar, masa yang
akan datang, sampai pertanyaan tentang suatu kepercayaan. Hal tersebut dikarenakan oleh suatu sifat
yang muncul dari dalam seseorang untuk bertahan semasa hidupnya agar dapat
mengetahui apa yang akan terjadi. Sifat ingin tahu yang kuat mendorong manusia
melakukan penyelidikan, berinovasi dan berkreasi serta mencari jawaban atas
semua pertanyaan. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan inilah muncul filsafat dan
dari filsafat berkembang berbagai ilmu-ilmu yang mampu dikembangkan oleh
manusia atas dasar rasa ingin tahunya tersebut.
Semakin
majunya pola pikir manusia, ilmu-ilmu itupun berkembang sangat pesat ditandai
dengan adanya berbagai teknologi-teknologi yang membuat hidup manusia itu
sendiri menjadi lebih praktis. Namun tidak hanya teknologi yang berkembang
melainkan pula suatu kepercayaan yaitu agama. Agama bisa diartikan sebagai
pedoman hidup manusia dalam menjalani hidupnya. Oleh sebab itu, agama menjadi
penting dalam menjaga keharmonisan hidup di beberapa Negara.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan agama, muncul berbagai wacana tentang keterkaitan ilmu
pengetahuan (sains) dengan agama. Banyak pihak yang menilai bahwa ilmu
pengetahuan sama sekali bertolak belakang dengan agama. Tercipta dua kubu yang
saling berbeda dalam menyikapi berbagai hal dalam kehidupan manusia. Tidak
jarang adanya konflik yang terjadi akibat perdebatan para ilmuwan dan tokoh
agama yang sama-sama fanatic akan persepsinya. Misalnya pada peristiwa
inkuisisi atas Nicolaus Copernicus dengan sebuah gereja. Dalam hal ini muncul
juga pendapat bahwa ilmu pengetahun seyogyanya dapat saling mengisi dengan
agama seperti yang diyakini Albert Einstein, bahwa ilmu tanpa agama: buta, dan
agama tanpa ilmu: lumpuh.
Mempelajari
ilmu pengetahuan (sains) dan agama kurang lengkap rasanya apabila kita tidak
membahas kaitan keduanya dalam kehidupan. Ilmu pengetahuan dan agama berasal
dari induk yang sama yaitu filsafat. Filsafat menelusuri tentang segala sesuatu
yang telah ada ataupun akan ada. Oleh karena itu, filsafat memiliki orientasi
untuk mempelajari alur cipta yang merupakan hasil penciptaan yang bersumber
dari keyakinan manusia terhadap tuhan. Segala sesuatu yang tercipta dipelajari
oleh manusia secara parsial bagian demi bagian dari satu generasi ke generasi
yang lain.
Sementara
itu, pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil aplikasi
sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia secara
luas. Dan manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara
besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah pesatnya kemajuan itu sering
diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama.
Agama
tidak dapat dilepaskan dengan ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan tanpa
didasari atas agama akan mendatangkan kehancuran (Sudiatmika dalam Wirawan,
2007: 93).
Banyak
kasus kriminalitas yang dilakukan oleh pelakunya menggunakan ilmu pengetahuan
yang ia miliki. Sebut saja Amrozi dan kawan-kawannya yang merakit bom untuk
meledakkan sebuah tempat sehinnga memakan korban hingga ratusan orang
mengatasnamakan agama. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama apapun. Hal
ini terbukti bahwa nilai-nilai agama belum di dayagunakan sebagai pegangan
hidup untuk membina moral (Wiana dalam Wirawan, 2007: 89). Oleh sebab itu, agama
dan ilmu pengetahuan sangat erat kaitannya.
Walaupun
demikian Bruno Guiderdoni (Forum Detik.com) yang mencermati konsep sains,
mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia
membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi.
1)
Bahwa sains menjawab pertanyaan
“bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2)
Sains berurusan dengan fakta, sedangkan
agama berurusan dengan nilai atau makna.
3)
Sains mendekati realitas secara
analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4)
Sains merupakan upaya manusia untuk
memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi
tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah
pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan
mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Oleh
karena itu, Ian G. Barbour dalam Forum detik.com, mencoba memetakan hubungan sains dan agama
dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi
posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan
keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan
agama. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik,
Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama
lain.
1)
Konflik
Pandangan
konflik ini mengemukan pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard
Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini
menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa
sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus
memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan
mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama,
begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi
masing-masing.
Yang dapat penulis simpulkan adalah agama tidak
akan bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Agama diletakkan sebagai landasan
terhadap segala hal, kemudian tugas ilmu pengetahuan adalah untuk membuktikan
kebenaran agama itu. Pembuktian oleh ilmu pengetahuan ini akan memperkuat
keyakinan seseorang terhadap agama yang dianutnya. Jika ada teori ilmu
pengetahuan yang tidak sesuai dengan agama, maka tugas para pemeluknya untuk
membuktikan bahwa teori tersebut tidak benar. Seharusnya hal ini akan menjadi
sebuah sumber motivasi yang sangat kuat bagi umat beragama untuk selalu
mengembangan teori ilmu pengetahuan yang sejalan dengan agamanya.
2)
Independensi
Tidak
semua saintis memilih sikap konflik dalam menghadapi sains dan agama. Ada
sebagian yang menganut independensi, dengan memisahkan sains dan agama dalam
dua wilayah yang berbeda. Masing-masing mengakui keabsahan eksisitensi atas
yang lain antara sains dan agama. Baik agama maupun sains dianggap mempunyai
kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup
berdampingan dengan damai. Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang
dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan
bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua
domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi
masing-masing.
3)
Dialog
Pandangan
ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih
konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara
sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling
mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan
agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu
bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat
menunjukkan kesamaan dan perbedaan.
4)
.Integrasi
Pandangan
ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan
mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin
keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan
dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan
dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Terlepas
dari pendapat-pendapat di atas, dalam kehidupan ini manusia akan menjawab
segala hal yang dijumpai dengan dua sudut pandang. Ilmu pengetahuan memberikan
jawaban berdasarkan hukum-hukum logika, sedangkan agama memberikan jawaban
dengan landasan keyakinan. Ilmu pengetahuan dikembangkan berdasarkan dalil
keraguan atas segala sesuatu baru kemudian dipilah mana yang salah dan benar
berdasarkan hukum logika, Agama, sebaliknya, landasan awalnya adalah keyakinan,
baru kemudian dibuktikan oleh ilmu pengetahuan; jika ternyata misalnya ilmu
pengetahuan membuktikan bahwa ajaran dalam agama itu salah, maka yang
dikedepankan adalah keyakinan terhadap ajaran agama dan menafikan ilmu
pengetahuan.
Teori-teori
yang berkembang dalam ilmu pengetahuan, pada kenyataannya, tidak selalu sejalan
dengan ajaran agama. Pada titik inilah orang mulai mempertentangkan ilmu
pengetahuan dengan agama, manakah yang harus dipilih: ilmu pengetahuan ataukah
agama? Keputusan pada akhirnya ditentukan oleh seberapa yakin orang itu dengan
ajaran agamanya. Seseorang yang tingkat keyakinannya terhadap agama tidak cukup
tinggi maka ia akan semakin menjauh dari agamanya, dan bisa sampai pada titik
tidak mau mempercayai ajaran agama lagi. Sebaliknya, jika ia sangat yakin
dengan agamanya maka ia akan menafikan jawaban dari ilmu pengetahuan,
seberapapun kuatnya dalil-dalil yang dikemukakan oleh ilmu pengetahuan
tersebut.
Permasalahannya,
banyak misteri yang belum bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan jawabannya
terdapat dalam agama. Dengan demikian, seseorang yang menafikan agama, maka ia
akan terombang-ambing dalam pencarian tanpa henti atas jawaban terhadap misteri
tersebut, dan hanya akan berakhir jika ia kemudian mencarinya dalam agama, atau
sampai ia menutup mata. Sebaliknya, seseorang yang menafikan ilmu pengetahuan,
maka ia bisa terperosok ke dalam keyakinan buta terhadap agama. Bagaimanapun
manusia mempunyai rasio yang membutuhkan jawaban-jawaban rasional alih-alih
jawaban yang bersifat dogmatis yang merupakan ciri khas ajaran agama.
Hubungan antara Agama dan Sains (Ilmu Pengetahuan)
Reviewed by ekabanban
on
9:11 PM
Rating:
No comments: